Sabtu, 22 Desember 2012

Asuransi Syari'ah




Materi                          : Prinsip dan Filosofi Asuransi Syariah kajian Gharar, Maisir dan Riba
Pemateri                      : Rikza Maulan, Lc., M.Ag/ Sekertaris Dewan Pengawas Syariah Takaful Indonesia  2012
Notulis                                    : Elvandari Solina Astandi

Definisi Asuransi Syariah (Takaful)
التعريف بالتأمين الإسلامي [التكافل]
         Arti Kata Takaful
     Secara bahasa, takaful ( تكافل ) berasal dari akar kata ( ك ف ل ) yang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Kata ( تكافل ) merupakan bentuk mashdar (infinitf) dari kata :
تَكَافَلَ – يَتَكَافَلُ - تَكَافُلاً
         Dalam Kamus Al-Munawir dijelaskan bahwa arti kata kafala yang merupakan kata dasar dari takaful adalah : pertanggungan yang berbalasan, hal saling menanggung.
         Istilah kata ( تكافل ) ini merupakan istilah yang relatif baru, jika dilihat tidak satupun ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan istilah takaful ini. Bahkan dalam hadits pun, juga tidak dijumpai kata yang menggunakan istilah takaful ini. Namun secara sistem keukhuwahan, takaful sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya melalui ukhuwah dalam kehidupan bermasyarakat di Madinah pada waktu itu sebagaimana yang banyak digambarkan oleh hadits.
         Istilah Takaful kemudian berkembang dan menjadi sebuah istilah khusus untuk asuransi syariah. Sehingga ketika berbicara tentang takaful, maka makna yang terkandung adalah asuransi syariah.
Kata ‘Takaful’ Dalam Al-Qur’an
لفظ تكافل في القرآن الكريم
         Dalam Al-Qur’an tidak dijumpai satu ayatpun yang secara tersurat menggunakan kata ‘takaful’. Demikian juga dalam hadits. Namun demikian, terdapat sejumlah kata (delapan kata dalam delapan ayat) yang menggunakan kata yang seakar dengan kata takaful, yaitu dari kata ( كفل ).
         Kata-kata yang berakar dari kata ( كفل ) tersebut, secara umum keseluruhannya mengarah pada makna :
     1. Memelihara.
     2. Memikul (resiko)
         Takaful dengan pegertian seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT (QS. Al-Maidah : 2) :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
‘…Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan…’
         Penyebutan Akar Kata Takaful Dalam Al-Qur’an
ذكر لفظ كفل في القرآن الكريم  [1] Dalam QS. Ali Imran/ 3 : 37
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya.
         Dalam ayat di atas, kata kafala bermakna ‘memelihara’. (lihat yang bergaris bawah). Dan ‘memelihara’ memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan sekedar menjaga. Karena memilihara memiliki unsur adanya ‘rasa menyayangi’, sebagaimana orang tua memilihara anak kandungnya.
         Dengan demikian, maka ‘takaful’ adalah saling menjaga dan memelihara antara sesama muslim dengan landasan saling sayang menyayangi diantara mereka.
         Penyebutan Akar Kata Takaful Dalam Al-Qur’an
ذكر لفظ كفل في القرآن الكريم  [2 و 3] Dalam QS. Ali Imran/ 3 : 44 :
وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلامََهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.
         Dalam QS. Annisa/ 4 : 85 :
وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا
Dan barangsiapa yang memberi syafa`at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
         Penyebutan Akar Kata Takaful Dalam Al-Qur’an
ذكر لفظ كفل في القرآن الكريم [4 و 5] Dalam QS. Al-Qashas/ 28 : 12
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ
dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?".
         Dalam QS. Shad/ 38 : 23
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ
Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku (untuk aku pelihara) dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan".
         Penyebutan Akar Kata Takaful Dalam Al-Qur’an
ذكر لفظ كفل في القرآن الكريم [6 و 7] Dalam QS. An-Nahl/ 16 : 91 :
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا ْالأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً
            Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).
Catatan : Dalam Tafsir Thabari, kata “Kafilan” dalam ayat di atas memiliki 3 makna, yaitu syahidan (saksi), Haafidzan (pemelihara) dan Dhaminan (Penanggung).
         َQS. Thaha/ 20 : 40 :
إِذْ تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَنْ يَكْفُلُهُ
(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir`aun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?"
         Penyebutan Akar Kata Takaful Dalam Al-Qur’an
ذكر لفظ كفل في القرآن الكريم [8] Dalam QS. Al-Hadid/ 57 : 28
            يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَءَامِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
            Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
         Ayat di atas menunjukkan bahwa arti kata ( كفلين ) adalah dua bagian. Artinya bahwa ( كفل ) salah satu artinya adalah bagian. Dan dalam bertakaful, seseorang harus merasa menjadi ‘bagian’ dari orang lain. Sehingga terwujudlah kehidupan yang bertaawun satu sama lainnya, seperti satu tubuh sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya.
Definisi Asuransi Syariah (Takaful)
التعريف بالتأمين الإسلامي [التكافل] Arti Takaful Dalam Pengertian Muamalah :
     Saling memikul resiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.
     Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (baca ; tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
     Takaful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Maidah/ 5 : 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Implementasi Takaful
Sebagaimana Digambarkan Hadits

المعنى التطبيقي للتكافل كما بينه الحديث النبوي
Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam. (HR. Muslim)
Definisi Asuransi Syariah Menurut DSN
التعريف بالتأمين الإسلامي عند الهيئة الشرعية الوطنية
Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
Filosofi Umum Asuransi
المقاصد العامة للتأمينSecara umum, filosofi dari asuransi adalah memberikan jaminan, perlindungan dan mengurangi risiko.
         Memberikan jaminan & perlindungan
            Dengan asuransi, sebuah keluarga terlindungi dari berbagai biaya yang tidak diperkirakan, seperti biaya kesehatan, kecelakaan, dsb.
         Mengurangi risiko
            Dengan asuransi, risiko yang akan diderita atau ditanggung seseorang juga berkurang. Seperti risiko kerugian jika rumahnya kebakaran, kecurian, kendaraan kecelakaan, al-khairat untuk kematian dan lain sebagainya.
         Filosofi Umum Asuransi
المقاصد العام للتأمينFilosofi umum dari Asuransi, secara umum tidak bertentangan dengan syariat Islam.
         Karena salah satu tujuan dasar dari Syariah Islam adalah memelihara harta & keluarga, dari kehancuran, kemusnahan & kehilangan. Dan asuransi sangat tepat dalam konsep pemeliharaan terhadap jiwa, harta & keluarga.
         Pemeliharan terhadap jiwa dalam syariah Islam diistilahkan dengan ( حفظ النفس ), pemeliharaan terhadap harta, diistilahkan dengan ( حفظ المال ). Sedang pemeliharaan terhadap keluarga/ keturunan diistilahkan dengan ( حفظ النسل ).
Filosofi Asuransi Dalam Pendekatan Hukum Islam
















         Pandangan Ulama Terhadap Asuransi
التأمين عند العلماءHampir semua ulama sepakat mengenai pentingnya asuransi dalam kehidupan sosial. Namun mereka berbeda pandangan ketika berbicara mengenai hukum dari Asuransi, dilihat dari sudut fiqh Islam.
         Secara umum, pandangan ulama terhadap asuransi terwakili dalam tiga pandangan :
            1. Pandangan yang menghalalkan asuransi secara mutlak.
            2. Pandangan yang mengharamkan asuransi secara mutlak.
3. Pandangan yang memperbolehkan asuransi dengan syarat-syarat dan catatan-catatan tertentu.
         Pendapat Yang Menghalalkan Asuransi Secara MutlakDiantara ulama yang menghalalkan asuransi secara mutlak adalah : Syekh Abdul Wahab Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Bahjat Ahmad Hilmi dsb.
         Diantara alasan pendapat yang menghalalkan asuransi adalah
            1. Tidak adanya nash Qur’an maupun hadits yang melarang.
            2. Peserta asuransi dan perusahaan sama-sama rela dan ridha.
            3. Tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
            4. Asuransi bahkan memberikan keuntungan kedua pihak.
5. Asuransi termasuk akad mudharabah, peserta sebagai shahibul mal dan perusahaan asuransi sebagai mudharibnya.
            6. Usaha asuransi sangat menguntungkan kemaslahatan umum
         Pendapat Yang Mengharamkan Asuransi Secara MutlakDiantara ulama yang mengharamkan asuransi secara mutlak adalah : Syekh Ahmad Ibrahim, Sayid Sabiq, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah Al-Qalqili, Syekh Muhammad Bakhit Al-Mu’thi’i, dsb.
         Diantara alasan pendapat yang mengharamkan asuransi adalah:
            1. Asuransi mengandung unsur perjudian (maisir/ qimar)
            2. Asuransi mengandung unusr ketidak jelasan dan ketidak pastian (gharar).
            3. Asuransi mengandung unsur riba.
4. Potensi terjadi dzulm bagi nasabah yang tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, yaitu berupa hilang atau hangusnya premi yang telah dibayarkannya.
5. Asuransi termasuk akad sharf, yaitu terjadinya tukar menukar uang, namun tidak sama dan juga tidak tunai.
         Pendapat Yang Memperbolehkan Asuransi Dengan Syarat dan Catatan TertentuPendapat yang paling mu’tadil dalam masalah asuransi adalah pendapat yang ketiga, yaitu diperbolehkannya asuransi dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat ini di dukung oleh mayoritas ulama (jumhur ulama), khususnya ulama kontemporer.
            Alasannya adalah :
            1. Dalam muamalah hukum asalnya adalah boleh (ibahah), selama tidak ada nash yang malarangnya.
اْلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
            2. Asuransi sudah menjadi dharurah ijtima’iyah, khususnya di negera-negera maju.
Diantara syarat-syarat diperbolehkannya asuransi :
            1. Menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan yang terdapat dalam asuransi, yaitu gharar, riba dan maisir.
            2. Merubah sistem asuransi yang bersifat jual-beli (tabaduli) menjadi sistem yang bersifat tolong menolong (ta’awuni), di mana peserta asuransi saling tolong menolong terhadap peserta lain yang tertimpa musibah.
            3. Konsekwensinya adalah menjadikan premi yang dibayarkan peserta sebagiannya dijadikan tabarru’, (hibah/ derma) yang dikelola dalam satu fund khusus, yang peruntukkannya khusus untuk memberikan manfaat asuransi.
            4. Pengelolaan dana atau infesetasinya haruslah pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah.
         Asuransi Dalam Literatur Islam
         Secara historisnya, asuransi lahir, tumbuh dan berkembang di negara – negara Barat (baca ; non muslim). Oleh karenanya ia memiliki sifat, watak dan karakter Barat.
         Namun jika ditelusuri dalam literatur klasik fiqh Islam, terdapat juga beberapa hal yang dalam beberapa sisi memiliki kemiripan dengan sistem asuransi, diantaranya adalah :
            1. Nidzam Aqilah
            2. Al-Muwalah
            3. Al-Qasamah
            4. At-Tanahud
            5. Aqdul Hirasah
            6. Dhaman Khatr At-Thariq
         Nidzam Al-Aqilah
نظام العاقلةAl-Aqilah ( العاقلة ) yaitu saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah seorang dari anggota suatu suku terbunuh oleh anggota satu suku yang lain, maka pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak disengaja.
         Ibnu Hajar Al-Asqolani mengemukakan bahwa sistem Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, dimana salah seorang dari mereka memukul yang lainnya dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita tersebut dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa permasalahan tersebut ke Pengadilan. Rasulullah memberikan keputusan bahwa konpensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki maupun wanita. Sedangkan konpensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh Aqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.
         Nidzam Al-Aqilah
نظام العاقلة
Dalam sebuah riwayat digambarkan
عَنْ أََبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اقْتَتَلَتْ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ وَقَضَى أَنَّ دِيَةَ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا (رواه البخاري)
            Dari Abu Hurairah ra berkata, Dua orang wanita dari Suku Huzail berselisih, kemudian salah seorang wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lainnya hingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris wanita yang meninggal tersebut mengadukan ke Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan gantu rugi kematian wanita tersebut degnan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhari)
         Al-Qasamah
القسامةYaitu sebuah konsep perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majlis. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak diketahui siapa pembunuhnya atau tidak ada keterangan saksi yang layak untuk benar-benar secara pasti mengetahui siapa pembunuhnya.
         Al-Muwalat
الموالاةAl-Muwalat yaitu perjanjian jaminan, dimana seorang penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak dikeketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya.
   (Az Zarqa’ dalam Aqdud Ta’min).
         At-Tanahud
التناهدTanahud merupakan ibarat dari makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar yang dicampur menjadi satu. Kemudian makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka, kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda.
         Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.” (HR. Bukhari)
         Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya dengan makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya atau berbeda-beda.
         At-Tanahud
التناهد
Dalam Atta’rifat, karya Imam Al-Jurjani (hal 93), dikatakan :
التناهد : إخراج كل واحد من الرفقة نفقة على قدار نفقة صاحبه
         Teks Hadits Tentang Tanahud :
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اْلأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ (رواه البخاري)
            Dari Abu Musa ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.” (HR. Bukhari)
         Aqd Al-Hirasah
عقد الحراسة
Yaitu kontrak pengawal keselamatan. Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu, misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar sejumlah uang kepada pengawal, dengan konpensasi kemanannya akan dijaga oleh pengawal.
         Dhaman Khatr At-Tariq
ضمان خطر الطريق
Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan perlindungan keslamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, dan pihak lain menjaga keselamatan perjalanannya.
         Perbandingan Antara Sistem Asuransi Dengan Bentuk MuamalahBentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb) karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas amal tathawwu’ dan tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
         Kemudian secara syakliyah, bentuk-bentuk akad di atas memang memiliki kemiripan dengan asuransi, meskipun beberapa diantaranya dipertanyakan ‘pengakuan’ Islam terhadap akad tersebut. Seperti Al-Muwalat, yang sebenarnya merupakan satu sistem pewarisan dalam pola kehidupan jahiliyah, yang pada masa peralihan zaman permulaan Islam memang diakui. Namun kemudian Islam menetapkan sistim mawarisnya sendiri sehingga akad tersebut tidak mempunyai wujud lagi.
         Lalu pada Aqilah, yang justru ‘pembayar premi’ tidak mendapatkan ‘manfaat’ dari preminya tersebut, karena diperuntukkan bagi orang lain. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan syakliyah antara asuransi dengan Aqilah. Hal serupa juga terjadi pada akad Dhaman Khatr Tariq, dimana penjamin memberikan jaminannya secara sukarela, dan tidak berdasarkan ‘premi’ yang dibayar oleh terjamin.
         Antara Akad-Akad Islam Dengan Sistem Asuransi
بين العقود الإسلامية والنظام التأميني
Kendati akad-akad di atas memiliki beberapa kemiripan dengan sistem asuransi, namun sesungguhnya secara syakliyah terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang cukup membedakannya dengan asuransi.
         Harus diakui bahwa dunia Islam baru berkenalan dengan asuransi pada sekitar abad ke 19, ketika terjadi penjajahan Dunia Barat terhadap negeri-negeri Islam.
         Oleh karenanya sesungguhnya asuransi merupakan sesuatu yang baru dan asing di kalangan muslim. Dan secara karakter, asuransi sangat kental dengan karakteristik negeri tumbuh dan berkembangnya yang tentunya sangat berbeda dengan karakter Muamalah Islamiyah.
         Namun bukan berarti bahwa hal tersebut secara hukum Islam tidak sah dan tidak diperbolehkan. Karena dalam masalah muamalah pada prinsipnya yang penting tidak melanggar atau bertentangan dengan prinsip syariah. Kaidah syariah mengatakan :
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يقوم الدليل على تحريمها
Pada dasarnya hukum sesuatu itu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan pengharamannya.
         Definisi GhararSecara bahasa, gharar berarti “khatr”, yaitu resiko dan bahaya. Pengembangan kata dari gharar adalah “taghrir”, yaitu membawa diri dalam resiko dan bahaya.
         Sedangkan menurut istilah para fuqaha, gharar setidaknya memiliki tiga bentuk/ tren definisi.
         Pertama : Menjadikan gharar terbatas pada hal yang tidak diketahui apakah hal tersebut terjadi atau tidak, ada atau tidak. (Gharar Fil Wujud). Definisi seperti ini diungkapkan oleh Ibnu Abidin :
            ( الغرر هو الشك في وجود المبيع )
            Gharar adalah keraguan atas keberadaan objek akad (antara ada dan tidak ada).    
         Kedua : Gharar yang terbatas pada hal-hal yang majhul (ketidakjelasan) yang terdapat pada objek akadnya. Definisi seperti ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hazam :
             الغرر في البيع هو ما لا يدري فيه المشتري ما اشترى أو البائع ما باع
            Gharar dalam jual beli adalah pembeli tidak mengetahui apa yang dibeli dan penjual tidak mengetahui apa yang dijual.
         Ketiga : Definisi yang menggabungkan antara gharar pada wujud dan gharar pada objek akadnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Sarakhsyi :
الغرر ما يكون مستور العاقبة
Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui hasilnya.
Konsekwensi Gharar Dalam AkadGharar memiliki konsekwensi dalam akad, yaitu :
  1. Menjadikan suatu transaksi “haram” adanya.
  2. Merusak (menjadikan fasad) dari suatu transaksi, yang berdampak pada tidak terjadinya dampak hukum apapun dari akad tersebut (akad tidak sah).
Konsekwensi tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah SAW :
            عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه مسلم)
            “Bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan melempar batu, dan melarang jual beli yang mengandung unsur gharar.” (HR. Muslim)
Jenis – Jenis GhararSecara fiqh, gharar setidaknya dapat terjadi dalam tujuh jenis transaksi :
  1. Dalam wujud ( في الوجود  الغرر) yaitu ada tidaknya barang yang ditransaksikan. Seperti jual beli hewan dalam kandungan induknya, sebelum hewan tersebut hamil.
  2. Dalam memperolehnya ( في الحصول  الغرر), yaitu bisa tidaknya suatu benda/ barang yang ditransaksikan didapatkan, sementara wujudnya ada. Seperti jual beli burung di angkasa dan ikan di lautan.
  3. Dalam macamnya ( في الجنس  الغرر), yaitu ketidak jelasan dari jenis barang apa yang diperjual belikan. Seperti jual beli barang barang yang tersembunyi (misalnya dalam karung), sementara di dalam karung tersebut terdapat beberapa jenis barang.
  4. Dalam jenisnya ( الغرر في النوع ) yaitu ketidak jelasan macam-macam dari satu jenis barang. Seperti jual beli sapi namun tidak jelas sapi yang mana.
  5. Dalam kuantitinya ( الغرر في المقدار ), yaitu ketidak jelasan dari kuatiti barang/ objek yang ditransaksikan, seperti jual beli tanah sejauh lemparan batu (bai’ al-hashoh)
  6. Dalam penentuannya ( الغرر في التعيين ) yaitu ketidak jelasan dalam menentukan salah satu dari kedua barang/ objek yang diperjual belikan. Seperti jual beli satu baju dari dua baju.
  7. Dalam keberadaannya ( الغرر في البقاء ) yaitu seperti jual beli buah-buahan sebelum jelas jadi tidaknya buah tersebut.
Gharar Dalam AsuransiDalam praktek asuransi, gharar terjadi setidaknya dalam empat hal, dalam wujud, husul, miqdar dan ajalnya.
  1. Gharar dalam wujud.
            Yaitu ketidak jelasan ada atau tidaknya “klaim/ pertanggungan” atau manfaat yang akan diperoleh nasabah dari perusahaan asuransi.  Karena keberadaan klaim/ pertanggungan tersebut terkait dengan ada tidaknya resiko. Jika resiko terjadi, klaim didapatkan, dan jika resiko tidak terjadi maka klaim tidak akan didapatkan. Hal ini seperti pada jual beli hewan dalam kandungan sebelum induknya mengandung. Meskipun si induk memiliki kemungkinan mengandung.
  1. Gharar dalam husul (merealisasikan/ memperolehnya)
            Yaitu ketidak jelasan dalam memperoleh klaim/ pertanggungan, kendatipun wujudnya atau keberadaan klaim tersebut bisa diperkirakan, namun dalam mendapatkannnya terdapat ketidak jelasan. Seperti seorang peserta, ia tidak mengetahui apakah bisa mendapatkan klaim atau tidak. Karena bisa tidaknya mendapatkan klaim tergantung dari resiko yang menimpanya. Hal ini seperti yang terdapat dalam jual beli ikan di laut. Wujudnya ada, namun memperolehnya belum tentu bisa.
  1. Gharar dalam miqdar (Jumlah Pembayaran)
            Yaitu ketidak jelasan dari jumlah, baik jumlah premi yang dibayar oleh nasabah, maupun jumlah klaim yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Misalnya dalam asuransi jiwa, bisa jadi seseorang membayar 17 kali, namun tidak klaim sama sekali. Dan bisa juga seseorang baru bayar premi satu kali namun mendapatkan klaim 50 juta. Demikian juga perusahaan bagi asuransi, dimana ia tidak tahu seberapa besar seroang nasabah membayar premi dan seberapa lama ia akan menerima klaim.
  1. Gharar dalam ajal (waktu)
            Yaitu ketidak jelasan seberapa lama nasabah membayar premi. Karena bisa jadi seorang nasabah baru membayar satu kali kemudian mendapatkan klaim, bisa juga terjadi seorang nasabah belasan kali membayar premi namun tidak memperoleh apapun dari pembayarannya tersebut. Bahkan dalam asuransi jiwa (kematian), klaim sangat tergantung dengan ajal. Dan ajal hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya.
         Definisi MaisirDari segi bahasa, maisir diterjemahkan dengan judi. Dan istilah ini merupakan istilah pada bentuk permainan untung-untungan yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah.
         Dalam bahasa Arab sendiri, maisir memiliki beberapa padanan kata yang memiliki kemiripan makna, yaitu muqamarah/ qimar ( القمار/ المقامرة ) dan rihan/ murahanah ( الرهان/ المراهنة ).
         Qimar lebih pada permainan (taruhan) antara sesama pemain. Misalkan pada balapan sepeda motor, dua orang saling bertaruhan satu juta – satu juta. Yang menang mendapatkan satu juta dari lawannya dan yang kalah mengeluarkan satu juta untuk lawannya.
         Sedangkan rihan merupakan taruhan yang dilakukan oleh para penontonnya yang saling menjagokan “jagonya” masing-masing, tanpa harus mereka ikut bermain. Jika taruhannya menang, ia mendapatkan uang. Namun jika “jago”nya kalah ia mengeluarkan uang.
         Namun ada juga yang menyebutkan bahwa qimar lebih luas dibandingkan dengan maisir. Karena maisir lebih pada permainan judi yang dilakukan oleh ahli jahiliyah. Sedangkan qimar/ muqamarah mencakup segala bentuk dan jenis perjudian atau aktivitas untung-untungan.
Dampak Hukum Dari MaisirSebagaimana gharar, maisir juga memiliki dampak hukum dalam transaksi yang dilakukan, yaitu :
  1. Haramnya transaksi tersebut.
  2. Tidak sahnya transaksi yang dilakukan.
Dampak hukum ini berdasarkan pada firman Allah SWT QS. 5 : 90 :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
         Maisir Dalam Transaksi AsuransiAkad dalam asuransi adalah akad dimana salah satu pihak memiliki keharusan melakukan pembayaran (baca ; klaim) sebagai konpensasi dari terjadinya sesuatu.
         Nasabah membayarkan premi sedangkan perusahaan membayarkan klaim. Jika tidak terjadi musibah premi hilang dan menjadi miliki perusahaan, sedangkan jika terjadi musibah perusahaan membayar klaim yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan preminya.
         Meskipun tidak murni seperti judi, namun akad semacam ini dalam kacamata fiqh Islam sudah masuk dalam kategori judi.
Definisi Riba
         Secara bahasa, riba ( الربا )  berarti ziyadah ( الزيادة ) yaitu ‘tambahan’ Dan dilihat dari sudut pandang tehnis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
         Sedangkan dari segi istilah, menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi riba adalah ‘Setiap pinjaman yang di dalamnya disyaratkan adanya tambahan tertentu.’ Sedangkan menurut ulama Hambali, riba adalah ‘kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertukaran harta dengan harta.
         Sebagai tambahan, Syekh Muhammad Abduh mendefiniskan riba dengan; ‘penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu telah ditentukan.’
Jenis – Jenis RibaSecara garis besar riba terbagi dua :
1. Riba Nasi’ah
      Nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang berarti menunda, menangguhkan atau menunggu dan merujuk pada waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali pinjamannya dengan imbalan ‘tambahan’ atau premium. Jadi Riba Nasi’ah sama dengan bunga yang dikenakan atas pinjaman
2. Riba Fadhl
      Dari segi bahasa, fadhl adalah ‘lebihan’. Sedangkan dari istilah riba fadhl adalah, lebihan atau penambahan kuantitas dalam transaksi pertukaran atau jual beli barang yang jenisnya sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum dsb, yang jumlahnya tidak sama.
  1. Dalil Pengharaman Riba Nasi’ah & FadhlRiba Nasi’ah.
    Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ رِبًا إِلاَّ فِي النَّسِيئَةِ (رواه النسائي)
   Dari Usamah bin Zad ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada riba melainkan pada riba nasi’ah (HR. Nasa’I.
2. Riba Fadhl.
    Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, dengan jumlah sama dan harus dari tangan ke tangan (Cash). Yang mengambil dan memberikan sama. (HR. Muslim)
  1. Ancaman Bagi Para Pelaku RibaDiibaratkan seperti orang mabuk yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (penyakit gila)
  2. Akan dimasukkan ke dalam api neraka dan kekal selamanya. (QS. 2 : 275) :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
3. Orang yang tidak meninggalkan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya serta akan dikategorikan sebagai orang kafir. (QS. 2 : 278 – 279)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ*
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
4. Mendapatkan laknat Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Dari Jabir ra beliau berkata, ‘Bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya. Rasulullah SAW mengatakan, ‘mereka itu sama.’ (HR. Muslim)
5. Halal bagi Allah Untuk Memberikan Azab-Nya. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الرِّبَا وَالزِّنَا إِلاَّ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه ابن ماجه)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Rasulullah SAW beliau berkata, ‘Tidaklah suatu kaum menampakkan riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan terhadap diri mereka sendiri azab dari Allah SWT. (HR. Ibnu Majah)
6. Memakan harta riba lebih berat dosanya di bandingkan dengan tiga puluh enam kali perbuatan zina. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ حَنْظَلَةٍ غَسِيْلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً (رواه أحمد والدارقطني والطبراني)
Dari Abdullah bin Handzalah (ghasilul malaikah) berkata, bahwa rasulullah SAW bersabda, ‘Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam perzinaan. (HR. Ahmad, Daruquthni dan Thabrani)
7. Riba memiliki tingkatan-tingkatan. Dan tingkatan riba terendah adalah seperti seorang laki-laki berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلَ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
(رواه الحاكم وابن ماجه والبيهقي)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra,bahwa rasulullah SAW bersabda, ‘Riba itu tujuh puluh tiga pintu. Dan pintu yang paling ringannya adalah seumpama seorang lelaki berzina dengan ibu kandungnya sendiri. (HR. Hakim, Ibnu Majah & Baihaqi)